Salah satu masalah sosial yang dihadapi negara berkembang, termasuk Indonesia, adalah rendahnya status gizi masyarakat. Berbagai masalah gizi, seperti anemia, kurang gizi, kurang vitamin A dan yodium, diderita jutaan anak.
Tanpa intervensi berarti, kurangnya menu bergizi akan berdampak buruk pada bayi dan anak-anak usia balita oleh karena status gizi memengaruhi kecerdasan serta daya tahan tubuh terhadap penyakit.
Faktor ekonomi sering menghalangi para orangtua untuk menghadirkan pangan bergizi bagi anaknya. Jangankan susu, telur saja sudah tergolong mewah untuk keluarga miskin.
Di tengah persoalan ini, PT Nestle Indonesia hari ini (20/4) menegaskan komitmennya untuk menyediakan produk bergizi dengan harga terjangkau untuk memenuhi kebutuhan khusus konsumen berpenghasilan rendah di seluruh dunia.
Menurut Presiden Direktur PT Nestle Indonesia, Arshad Chaudhry, model bisnis yang disebut Popularly Positioned Products (PPP) khusus dirancang untuk mengatasi masalah umum kekurangan mikronutrien yang banyak terjadi di negara-negara berkembang.
Dengan harga jual mulai Rp 500 untuk snack yang diperkaya zat besi atau pun segelas susu seharga Rp 1000, diharapkan konsumen mampu membelinya secara teratur.
"Daripada memberikan nasi saja sebagai makanan pendamping ASI, lebih menyehatkan jika para ibu menyisihkan seribu rupiah untuk membeli bubur bayi yang telah difortifikasi ini," kata Debora R. Tjandarakusuma, Legal and Corporate Affairs Director PT Nestle Indonesia, di sela acara peluncuran PPP.
Lebih lanjut Debora menjelaskan, sebagian besar produk PPP memang diperkaya dengan zat besi, kalsium, zinc, yodium, dan mikronutrien penting lainnya. Kekurangan zat-zat mikronutrien ini akan memengaruhi banyak hal dalam tubuh.
Selain menyediakan produk dengan harga terjangkau, Nestle juga memberikan edukasi kepada konsumen mengenai pentingnya nutrisi untuk anak. "Kami mendatangi Posyandu dan memberi edukasi pada kader Posyandu tentang nutrisi dan gaya hidup sehat," kata Brata T.Hardjosubroto, Head of Public Relation Nestle Indonesia.
Strategi pendekatan berupa edukasi kepada masyarakat memang diperlukan, mengingat persoalan gizi di masyarakat bukan cuma masalah ekonomi semata, tapi juga budaya dan kebiasaan. Masih banyak kebiasaan di masyarakat yang tidak menunjang gizi anak, misalnya ada banyak keluarga di Indonesia yang anaknya mengalami gizi buruk tapi bapaknya terus saja merokok.
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia mengungkapkan, pengeluaran rumah tangga termiskin untuk membeli rokok lebih besar dari lima kali dari pengeluaran untuk membeli susu dan telur. Secara umum, pengeluaran rumah tangga miskin untuk rokok 15 kali lebih besar dari pengeluaran untuk biaya kesehatan, termasuk di dalamnya menyediakan pangan bernutrisi untuk anak.